Pangeran
Walangsungsang yang selanjutnya bergelar Sri Manggana raja pertama
daerah Cirebon Larang, memiliki adik bernama Rara Santang. Ketika
Walangsungsang menunaikan ibadah Haji, Rara Santang juga ikut serta
untuk berhaji. Diceritakan ketika sampai di pelabuhan Jedah, Samadullah
alias Walangsungsang dan Rara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, penguasa (walikota) di negeri Mesir. Syarif Abdullah adalah keturunan Bani Hasyim yang pernah berkuasa di tanah Palestina. Di kota Mekah, Rara Santang dipersunting oleh Syarif Abdullah
yang selanjutnya setelah menunaikan ibadah Haji, Rara Santang diboyong
ke negeri Mesir. Dari perkawinan Syarif Abdullah dan Rara Santang (Hajjah Syarifah Muda’im) di karuniai seorang putera bernama Syarif Hidayatullah, lahir tahun 1448 M.
Pada masa remajanya Syarif Hidayatullah berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri dan Syekh Ataullahi Sadzili
di Mesir, kemudian ia ke Baghdad untuk belajar Tasawuf. Pada usia 20
tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk menuntut Ilmu.
Ketika Rara Santang (Hajjah Syarifah Muda’im) kembali ke Cirebon 1475 M, ia disertai suaminya dan puteranya Syarif Hidayatullah tinggal dan menetap di Cirebon Larang yang telah diperintah oleh pamannya Pangeran Cakrabuana alias Haji Abdullah Iman.
Sebelum
menjadi Susuhunan Jati, Syarif Hidayatullah melakukan kegiatan Dakwah
di Banten Pesisir yang saat itu dirajai oleh Sang Surasowan. Menurut
cerita lain sebelum ke Banten Pesisir, Syarif Hidayatullah pergi ke
Demak menemui Sunan Ampel untuk bersilaturahmi, dimungkinkan perginya
Syarif Hidayatullah ke Banten Pesisir atas perintah dari Sunan Ampel.
Untuk kepentingan dakwahnya, Syarif Hidayatullah menikahi Nyi Ratu
Kawunganten putri Sang Surasowan penguasa Banten Pesisir. Ia diakuniai
dua orang putra-putri yaitu Hasanuddin yang selanjutnya menjadi pelanjut
dakwah ayahnya di Banten dan Ratu Winahon alias Ratu Ayu yang
dinikahkan kepada Fachrullah Khan alias Fadhillah Khan alias Faletehan
seorang Panglima perang tentara Demak.
Empat
tahun kemudian atau 1479 M (setahun setelah berdirinya Negara Islam
Demak) Pangeran Cakrabuana mengalihkan kekuasaanya kepada Syarif Hidayatullah (saat usia 31 th), sebelumnya menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya Ratu Pakungwati.
Atas
dukungan para wali, Syarif Hidayatullah memutuskan Cirebon menjadi
Negara Islam yang merdeka terlepas dari pemerintahan pusat Pakuan
Padjadjaran.
Upacara penobatan Syarif Hidayatullah yang bergelar Susuhunan Jati,
di hadiri oleh Dewan Wali dan Pasukan Demak yang dipimpin langsung oleh
Raden Fatah. Ketika Raden Fatah pulang ke Demak, sebagian pasukannya
ditinggalkan untuk menjadi pengawal dan melindungi Susuhunan Jati.
Posisi
Syarif Hidayatullah yang selanjutnya dikenal dengan Sunan Gunung Jati
bukan hanya sebagai Susuhunan Jati Negara Islam Cirebon, tetapi dalam
Dewan Wali menempati posisi yang sentral. Beliau memangku jabatan Khatib
Agung Masjid Demak. Pada masa pemerintahan Demak beralih kepada
Pangeran Treggono (setelah Raden Fatah wafat digantikan Pati Unus lalu
Pangeran Trenggono), Sunan Bonang memerintahkan Sultan Demak baru untuk
mengunjungi Sunan Gunung Jati, pada kesempatan itu Sunan menganugrahkan
gelar kepada Pangeran Trenggono sebagai Sultan Ahmad Abdul-Arifin.
Pemberian gelar tersebut mengandung arti legitimasi bagi Pangeran
Trenggono untuk memimpin Negara Islam Demak. Perintah Sunan Bonang
kepada Pangeran Trenggono untuk menemui Sunan Gunung Jati memberikan
petunjuk pada posisi Sunan Gunung Jati saat itu sebagai ketua Dewan Wali
setelah Sunan Ampel dan Sunan Giri wafat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar